A.
HADITS CINTA SESAMA MUSLIM SEBAGIAN DARI IMAN
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ
الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata,
telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dari Qotadah dari Anas dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan dari Husain Al Mu'alim berkata, telah
menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga
dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya
sendiri"
Tinjauan
Bahasa
Mencintai (يُحِبُّ ) . Bentuk mashdarnya (اَلْمَحَبَّةَ ),
sering digunakan yang berarti : kecenderungan terhadap sesuatu yang ada pada
orang yang dicintai.
Saudara (أَخٌ ) , tetapi maksud saudara pada hadits di
atas adalah saudara seiman dan seIslam.
Demikianlah di dalam Shahih
Bukhari, digunakan kalimat “saudaranya” tanpa kata yang menunjukkan keraguan.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan “saudaranya atau tetangganya” dengan kata
yang menunjukkan keraguan.Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan
ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka
berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat
seperti itu. Maksud kalimat “mencintai saudaranya” adalah mencintai hal-hal
kebajikan atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang
berbunyi :
“Sampai ia mencintai
kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.Abu ‘Amr
bin Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga
tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang
dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai
kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk
dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal
yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau
tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam
itu sebenarnya gampang dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit
dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara
kami semua.
Abu Zinad berkata : “Secara
tersurat Hadits ini menyatakan hak persaman, tetapi sebenarnya manusia itu
punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia suka melebihkan dirinya.
Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri,
maka ia merasa dirinya berada di bawah orang yang diperlakukannya demikian.
Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya dipenuhi dan tidak dizhalimi?
Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna ketika seseorang berlaku
zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada dirinya, ia segera
menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.
Diriwayatkan bahwa Fudhail
bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah : “Jika anda menginginkan orang
lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak menasihati orang itu karena
Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang itu di bawah anda?”
(tentunya anda tidak akan menasihatinya).
Sebagian ulama berpendapat :
“Hadits ini mengandung makna bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana
satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai saudaranya sendiri sebagai
tanda bahwa dua orang itu menyatu”.
Seperti tersebut pada Hadits lain :
“Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari
anggotanya sakit, maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa
demam dan tidak bisa tidur malam hari”.
B.
HADITS SEORANG MUSLIM TIDAK
MENGGANGGU ORANG LAIN
حَدَّثَنَا آدَمُ
بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه. ُ
رواه
البخاري وأبوداودوالنسا ئى
Artinya : “Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada
kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin
Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin
Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “Seorang muslim adalah
orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan
orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang
Allah SWT.
Tinjauan
bahasa
Menyelamatkan
: سَلِمَ
Berpindah : هَجَرَ
Melarang : نَهَى
Pesan pertama
yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam
senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik
secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama
muslim, maka Rasulullah saw. menggambarkannya sebagai ciri tingkat keislaman
seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap
sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati. Inilah ciri-ciri muslim
yang tidak mengganggu orang lain
Oleh sebab
itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain
selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata
lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti
oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya,
dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua ,
secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah
meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang
terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah
darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan
kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan
berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada
Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun
secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
C. HADITS
MENGHADAPI TAMU, TETANGGA, DAN CARA BERTUTUR KATA
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
أخرجه الشيخان
وابن ماجه
Artinya : Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari
Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw.
telah bersabda: “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya;
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik
kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berkata baik atau diam”
Tinjauan Bahasa
Memuliakan : يُكْرِمُ
Tamu : ضَيْفَهُ
Membuat
Kebaikan : يُحْسِنُ
Tetangga : جَارٌ
Diam (tidab
berbicara) : يُصْمِتُ
Dalam hadits
di atas, ada tiga perkara yang didasarkan atas keimanan kepada Allah dan hari
akhir, yakni memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan berbicara baik atau
diam. Adapun alas an penyebutan dua keimanan, yakni iman kepada Allah dan hari
akhir karena iman kepada Allah merupakan permulaan segala sesuatu dan di
tangan-Nyalah segala kebaikan dan kejelekan sedangkan hari akhir merupakan
akhir kehidupan manusia, yang di dalamnya mencakup hari kebangkitan, mahsyar, hisab,
surga – neraka, dan banyak sekali yang harus diimani pada hari akhir tersebut.
Dengan demikian, seandainya manusia betul-betul beriman kepada Allah dan hari
akhir, ia akan berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemunkaran dan kemaksiatan.
Namun demikian, tidak berarti bahwa orang
yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud iman kepada Allah dan hari
akhir adalah sebagai penyempurna iman. Ketiga hal tersebut sangat penting dalam
kehidupan sosial.
No comments:
Post a Comment