Thursday, May 1, 2014

JURNALISME INVESTIGASI DI INDONESIA

A. Pengertian Jurnalisme Investigasi
            Secara umum, investigasi bisa diartikan sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta. Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. Jadi secara garis besar, jurnalisme investigatif adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa.
            Jurnalisme investigasi merupakan salah satu bagian penting dalam dunia keilmuan jurnalistik. Jurnalisme investigasi tidak hanya sekedar meliput, mencatat jawaban who, what, where, when, how dan why, kemudian merekamnya dan membuatnya menjadi berita. Wartawan yang menggeluti dunia investigasi harus bisa mencari data dan fakta yang lebih mendalam yang berhubungan dengan kasus yang sedang digelutinya. Mulai dari data dan fakta yang tampak di hadapan publik hingga data dan fakta yang belum terungkap di depan publik[1].
Berikut beberapa pengertian Jurnalisme Investigasi menurut pakar-pakar jurnalistik:
• Robert Greene
Kegiatan investigasi merupakan karya seorang/tim atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan. Kegiatan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa kegiatan itu adalah ide orisinil dari si investigator, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa televisi bersangkutan bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.
• Goenawan Mohammad
Kegiatan jurnalistik investigatif merupakan jurnalisme “membongkar kejahatan”. Ada suatu kejahatan yang biasanya terkait dengan tindak korupsi yang ditutup-tutupi. Namun, belakangan istilah investigasi semakin meluas. Secara umum, dari berbagai definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta. Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. Memang umumnya hanya kalangan tertentu yang biasa melakukan investigasi. Tetapi, tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa melakukannya. Sehingga kegiatan investigasi bisa diperluas menjadi kegiatan publik.
• Santana Jurnalisme
investigatif adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan investigasi dituntut agar mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan energi reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis, dan pada akhirnya menuliskan laporannya.
• Aris Munandar
Jurnalisme investigatif adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi. Karakter dari berita investigatif adalah: a. merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah b. mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis c. berkaitan dengan kepentingan publik

B. Sejarah Dan Perkembangan Jurnalisme Investigasi Di Indonesia
Sejarah jurnalisme di Indonesia Pelaksanaan jurnalisme investigatif di Indonesia dipengaruhi antara lain oleh sistem politik “keterbukaan dan kemerdekaan pers”. Di negeri ini semuanya terkait dengan sikap penguasa dalam menerapkan kebijakan tentang kebebasan pers. Tidak mengherankan jika media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif mengenai pemberitaan investigasi. Masalah korupsi yang sudah turun temurun terjadi sejak negara ini merdeka, dapat dilaporkan pers dalam dua gerakan, yaitu “sangat takut” atau “sangat berani”. Hal ini terjadi akibat bergantung pada kondisi politik yang ada. Kegiatan investigasi pers Indonesia ditakut-takuti tindakan pembredelan penguasa. Namun ditengah-tengah tindakan represif penguasa yang besar, masih ada bagian pers yang mengerjakan jurnalisme investigasi. Kasus megakorupsi pertamian pada 1974-1975 dilaporkan oleh surat kabar Indonesia Raya dan majalah Tempo.
Di Indonesia, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal di dalam pelaporan investigasi. Visi jurnalisme yang dibangun mengambil konsep advocacy journalism. Sebuah aliran new journalism yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Format advocacy dipakai untuk satu gaya jurnalistik yang teguh dalam pendiriannya untuk suatu “perbaikan keadaan”. Selain itu, harian ini juga bersifat muckraking paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan gegap gempita.
           Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi. Pada periode pertama penerbitan (1949-1958), harian ini memiliki visi investigatif untuk melawan kekuasaan yang dianggap bertanggung jawab atas semua keburukan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan pada periode kedua (1968-1974) harian ini menyoroti kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekauasaan dalam perspektif peristiwa kemasyarakatan[2].
Pengaruh tiga dekade kekuasaan Orde Baru yang merepresi kehidupan pers Indonesia, telah menjadikan pengenalan insilah investigasi tidak begitu dikenali secara utuh dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Pada awal 1980-an, sebuah buku pegangan jurnalistik hanya memapakan “Laporan Investigatif” sebagai “Sebuah Perkenalan” di salah satu subbagiannya. Investigative Report disebut sebagai teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Sementara itu, Charnley dalam buku Reporting menyatakan investigasi sebagai “laporan mendalam” dan sekedar teknik pencarian berita, serta menegaskan tentang batasan responsibilitas jurnalis untuk objektif, tidak memihak, dan mengabdi pada kepentingan umum.
Laporan investigasi belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di dalam tubuh pers. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan laporan jenis ini sebagai sebuah pendekatan yang bersifat temporer. Terdapat beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif oleh insan pers.
Reportase investigatif mulai tumbuh menjadi suatu bibit yang positif biasanya pada negara yang otoriter dan totaliter. Disana seorang jurnalis berusaha menyingkap hal-hal yang selalu ditutupi oleh penguasa, terutama begitu kuatnya tekanan (pressure) terhadap dunia jurnalistik. Nah, baru berkembang pada saat sang penguasa otoriter tumbang. Biasanya, pada zaman negara dipimpin oleh rezim penguasa yang otoriter atau totaliter, banyak jurnalis yang menjadi korban. Ada yang ditangkap, ada yang dibunuh seperti Udin dari Bernas Yogyakarta. Atau medianya ada yang dibredel, seperti kasus Indonesia Raya mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo. Atau seperti TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong.
Kini, setelah Soeharto tumbang, banyak kasus yang selama ini gelap, mulai bisa diungkap, walaupun masih sedikit, dan masih tampak ditutupi. Masih banyak borok-borok, korupsi, manupulasi dan penyelewengan yang mengakibatkan rakyat sengsara, negara hancur dan kehidupan bangsa semakin terpuruk, untuk diinvestigatif. Misalnya, soal dana Jaringan Pengaman Sosial, dana Golkar, perginya harta Soeharto, bisnis militer, penggelapan pajak, pencucian uang, dan lain-lain, yang semuanya layak diinvestigasi.

C. Ruang Lingkup Dan Tantangan Jurnalisme Investigasi Di Indonesia
            Kasus investigasi meliputi hal-hal yang memalukan, penyalahgunaan kekuasaan, dasar faktual dari hal-hal aktual yang tengah menjadi pembicaraan publik, keadilan yang korup, manipulasi laporan keuangan, bagaimana hukum dilanggar, perbedaaan antara profesi dan praktisi, hal-hal yang disembunyikan, dan lain-lain. Wartawan investigasi mencoba mendapatkan kebenaran yang tidak jelas, samar, atau tidak pasti. Topik-topik investigasi mereka mengukur moralitas benar atau salah, dengan pembuktian yang tidak memihak yang didapat melalui riset atau penelitian. Tidak hanya sekedar menolak kesepakatan melainkan juga menyatakan apakah sesuatu yang terjadi itu sesuai dengan moral atau tidak.
            Menurut Wina Armada (1993), laporan invesigasi di Indonesia belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di tubuh pers pada tahun 1990-an. Laporan investigasi belum memiliki dampak luas dan menonjol. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan investigasi, sebagai sebuah pendekatan, yang bersifat temporer, kadang-kadang dan masih dapat dihitung jari. Armada mengajukan beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif, yakni pers Indonesia masih menilai laporan investigatif adalah laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya menghabiskan “waktu” yang amat panjang. Hasil akhir (output) yang “tidak pasti” memberikan halangan juga kepada gairah wartawan Indonesia. Ditambah lagi “risiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya. Dan, persyaratan “modal kuat, keuletan dan kesabaran” yang harus dimiliki seorang wartawan investigatif Indonesia belum mendapat tempat di kalangan pers saat itu.
Dalam amatan Andreas Harsono, dekade 1990-an merupakan fase beberapa majalah mulai secara eksplisit memakai istilah “investigasi” pada beberapa liputannya. Ketika terbit tahun 1996, dwi-mingguan Tajuk menyatakan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertaimen. Penerbitan kembali majalah Tempo, 6 Oktober 1998, seusai dibredel, membuat sebuah rubric dengan nama “investigasi”. Tempo membuka lembaran baru penerbitannya (6 – 12 Okotober 1998, “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”) dengan laporan investigasi mengenai pemerkosaan keturunan Cina pada saat huru-hara Mei 1998.
Pada dasarnya, setiap wartawan mengerjakan peliputan yang dilakukan, menurut Bruce Page kerja investigasi membuat berbagai isi surat kabar memiliki perbedaan dibanding brosur sebuah iklan. Kerja keras para wartawan dalam meningkatkan pelaporan jurnalistik yang bermutu. Nilai mutunya terletak didalam membangun dasar fakta-fakta.
Kerja wartawan investigasi kerap menemukan area peliputan yang mesti dibuka dengan sengaja, dicari dengan hitungan asumsi tertentu, dan dikontak dengan ketekunan dalam menarik narasumber untuk membeberkan keterangan yang diperlukan. Berbagai narasumber bahkan diasumsikan berkemungkinan untuk corrupt,memanipulasi keterangan. Karena itulah, berbagai data dan keterangan yang didapat dari sebuah kisah berita memerlukan analisis kritis wartawan investigatif. Tidak sesederhana didalam peliputan yang dapat langsung mencatat berbagai rentetan keterangan dari sebuah peristiwa berita regular atau seremonial.
Para wartawan investigasi juga kerap harus jeli dan waspada terhadap berbagai kisah berita yang tersebar di masyarakat. Beberapa pihak sengaja menyewa perusahaan public relations (hubunggan masyarakat) untuk membuat perencanaan kisah berita tertentu. Lalu, membayar kerja pengacara untuk menyangkal berbagai isu yang tersebar. Public tentu saja akan menolak paparan kisah berita yang dikemukakan para petugas human relations. Dari sanalah, para pekerja media jurnalistik memulai rangkaian liputan investigasinya.
Mereka mulai meneliti berbagai item berita yang dapat diungkap untuk konsumsi pemberitaan media harian dan mingguan. Mereka juga mulai menyusun strategi untuk wawancara yang dapat membuka selubung bukti keterangan yang sengaja dirancang. Selain itu, juga memulai rancangan kegiatan penulisan yang dapat diterima publik[3].
Dalam peliputan, wartawan pasti mempunyai hambatan-hambatan yaitu :
1)      Memiliki modal yang besar.
Peliputan jurnalisme investigasi memakan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena penggalian berita yang hingga akar akan dikupas menyebabkan para wartawan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Proses yang lama  ini pasti akan lebih memakan biaya keseluruhan yang terus menerus akan dikeluarkan. Pemilik modal akan terus mengeluarkan biaya sampai kasus yang dicarai didapat. Dan itu bukan pekerjaan mudah. Pasti  banyak lika-liku yang harus ditempuh agar tujuan yang diinginkan tercapai.
Tergambar jelas bahwa teknik peliputan investigasi bukanlah sebuah liputan biasa yang bisa dikerjakan dalam hitungan jam atau hari. Sangat di tuntut kesabaran dalam liputan ini serta kerja keras dan strategi agar menghasilkan kualitas liputan terbaik. Objek yang dituju pun didapat. Wartawan harus berhati-hati dalam peliputan. Tidak sedikit wartawan yang mengalami kecelakaan dalam proses peliputan jurnalisme investigasi. Dan semua itu tidak ada jaminan dan undang-undang untuk teknik peliputan jurnalisme investigasi.
2)      Proses upaya penelusuran yang panjang dan memakan waktu yang lama.
Secara sederhana, kegiatan liputan jurnalisme investigasi umumnya terbagi kedalam dua bagian proses liputan. Kegiatan awal jurnalisme investigasi adalah menelusuri berbagai permasalahan yang yang mesti ditindaklajuti. Jika mendapatkan permasalahan itu selanjutkan pada bagian kedua yang merupakan tahap lebih serius dan investigasi bisa dimulai. Pada tahapan inilah yang membuat proses berlangsung jurnalisme investigasi memakan waktu yang lama.
Pada saat wartawan mengerjakan liputan investigasi pun terkadang mereka melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkan pada narasumber bahwa mereka adalah wartawan. Dalam penyamaran ini tidak pernah mendapatkan kesepakatan soal apakah akhir kerja wartawan, atas nama kepentingan publik, dapat membenarkan segala cara dalam meliput termasuk dengan penyamaran. Beberapa kalangan wartawan menyepakati bahwa tindakan penyiasatan seperti penyamaran merupakan sebuah upaya mendapatkan berita yang tidak melanggar etika. Mereka masih melihat hal tersebut sebagai taktik jurnalistik, bukan tindak pelanggaran.
3)      Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia menjadi salah satu hambatan dalam peliputan jurnalisme investigasi. Hal ini dilihat dari sangat jarang wartawan yang berani mengungkap sebuah kasus hingga sampai ke akar. Faktor keselamatan yang perlu dipertimbangkan. Undang-undang mengenai peliputan jurnalisme investigasi pun belum ada. Jadi keselamatan para wartawan tidak terjamin. Di indonesia sangat jarang sekali yang membahas korupsi hingga ke akar.
Seperti contoh kasus Gayus Tambunan yang menggantung. Para petinggi Gayus tidak tertangkap dan uang hasil korupsi pun entah kemana. Jika topik ini di angkat ke dalam jurnalisme Investigasi, pasti akan terseret beberapa petinggi pemerintah yang terlibat. Maka jika sudah terlibat petinggi pemerintah,maka akan sulit untuk diungkap. Karena seluruh penguasa dikuasai oleh pemerintah. Sudah pasti wartawan akan semakin sulit dan mengancam keselamatan karena para petinggi tidak ingin masyarakat sampai mengetahui kebenaran.
Jurnalisme investigasi sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dengan jurnalisme investigasi masyarakat menjadi tahu kebohongan yang terus ditutup-tutupi dari kebenaran. Itu merupakan pekerjaan wartawan untuk membongkar peristiwa yang tak terekspos keranah publik. Tapi perlu diperhatikan beberapa catatan agar wartawan mengerti dan faham cara kerja dan resiko yang akan dilewati dalam peliputan jurnalisme investigasi[4].




[1] http://fahriariie.wordpress.com/2013/04/05/apa-itu-jurnalisme-investigasi/
[2] Setiawan Santana kurnia, jurnalisme investigasi,Jakarta: yayasan obor Indonesia 2003.
[3] Setiawan Santana kurnia, jurnalisme investigasi,Jakarta: yayasan obor Indonesia 2003 hal-106
[4] http://nurhikmahjurnalis.blogspot.com/2012/07/jurnalisme-investigasi-tak-berkembang.html

No comments:

Post a Comment