Friday, October 18, 2019

NGOPI, BUKAN SEKEDAR BUDAYA ACEH


Kopi.
Merupakan minuman hasil seduhan olahan biji kopi yang dibudidayakan lebih dari 50 negara di dunia termasuk Indonesia. Minuman kopi digemari oleh berbagai kalangan bukan hanya karena berkhasiat dan berenergi namun juga karena kenikmatan rasa, aroma, dan juga nilai ekonomis yang terkandung didalamnya.
.
Budaya Ngopi di Aceh
Sejarah mencatat, budaya ngopi di Aceh mulai terdengar sejak akhir abad ke-19. Ini terbukti dengan serangkaian kata fenomenal dari pahlawan Aceh asal Meulaboh Teuku Umar “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid” artinya besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan gugur. Kata ini diucapkan Teuku Umar di akhir perjuangannya sekitar tahun 1899. Berdasarkan serangkaian kata ini, dipastikan kopi sudah beredar di Aceh kala itu, terlepas dari semua kalangan atau hanya sebagian kalangan saja.
.
Bukan Sekedar Ngopi
Jika merujuk pada bukunya Clyde Kluckhohn, Universal Categories of Culture pada tahun 1953, budaya ngopi di Aceh termasuk dalam unsur kebudayaan sistem sosial masyarakat. Budaya ngopi  di Aceh tidak terjadi secara instant, jika di abad ke-19 masyarakat Aceh baru mengenal kopi, dan pada abad ke-20 kopi masih pada sebagian kalangan, maka pada abad ke-21 ini kopi/budaya ngopi menjelma menjadi tradisi dan bagian kehidupan masyarakat Aceh.
.
Sekarang ini, masyarakat Aceh seolah tidak dapat dipisahkan dari kopi. Banyaknya kedai kopi yang terdapat di Aceh membuktikan hal ini. Tidak terbatas pada satu golongan, tua dan muda, pria dan wanita, miskin dan kaya, semua berbaur menikmati kopi. Hal ini tidak terlalu mengejutkan mengingat Aceh sendiri sebagai salah satu produsen kopi terbesar di tanah air dengan produksi mencapai 40% kebutuhan kopi Arabika dalam negeri.
.

Foto: Dokumen Pribadi


Namun demikian, sangat disayangkan masih ada stigma negatif dari sebagian pihak luar Aceh bahkan dari Aceh sekalipun, yang kerap menghubungkan budaya ngopi ini dengan kebiasaan malas dan membuang waktu. Mungkin dikarenakan banyaknya generasi muda yang menghabiskan waktu di warung kopi, menghabiskan waktu produktif mereka. Hal ini tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Bagi generasi muda, warung kopi dirasa sebagai tempat yang fleksibel untuk berbagai macam kegiatan. Ditambah dengan harga minuman kopi Aceh yang relatif lebih murah dibandingkan kota besar lain di Indonesia. 
.
Ungkapan “Budaya harus mengikuti perkembangan zaman” kiranya tepat jika disandingkan dengan budaya ngopi di Aceh. Saat ini kedai kopi di Aceh tidak hanya sebatas menyeruput secangkir kopi. Banyak kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan sembari menikmati kopi. Dari hanya sekedar bertemu dan ngobrol, bermain game, membuat tugas, kegiatan rapat, bahkan ada yang bekerja sembari menikmati kopi di warung kopi. Pekerjaan seperti desain grafis, content creator, maupun pekerjaan lain yang mengandalkan kreatifitas biasa ditemui di warung kopi Aceh. Hal ini seolah menguatkan hasil riset dari University of Minnesota, yang mengatakan bahwa manusia lebih kreatif jika bekerja di warung kopi. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa suara-suara di sebuah kedai kopi dapat mengalihkan perhatian otak untuk mengalihkan sensor internal dan membuka jalan bagi pemikiran yang lebih abstrak. Kemudian, pihak pemilik warung-warung kopi di Aceh merespon baik dengan menghadirkan fasilitas pendukung, seperti jaringan Wi-Fi yang stabil, tempat yang nyaman, meeting room atau ruang rapat, serta menghadirkan menu makanan yang bervariasi agar pelanggan betah berlama-lama berada di kedainya.
.
Selain itu, potensi kopi Aceh sebagai budaya tidak hanya sebagai daya tarik wisatawan, tapi juga salah satu penggerak ekonomi terbesar di Aceh. Dengan total luas lahan perkebunan sekitar 100.000 Ha, dan produksi rata-rata mencapai 60.000 ton per tahun, ditambah dengan ribuan kedai kopi yang ada di Aceh, dapat di bayangkan berapa rupiah yang berputar setiap harinya dari bisnis ini. Pengolahan dan penyajian kopi Aceh yang unik menjadi salah satu alasannya. Pemerintah pun nampaknya sudah melirik potensi besar ini terlihat dari gencarnya promosi ke mancanegara ditambah pengadaan event-event seperti Banda Aceh Coffee Festival yang saat ini sedang berlangsung sampai 20 oktober mendatang. Promosi-promosi ini diharapkan dapat menjadikan kopi sebagai salah satu identitas pariwisata Aceh.
.
Walikota Banda Aceh saat menghadiri Banda Aceh
Coffee Festival. Foto: Humas Banda Aceh

Laju positif ini hendaknya tetap di pertahankan bahkan di tingkatkan. Di sini peran pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk menjaga kestabilan jumlah dan kualitas produksi, salah satunya dengan cara memberi sosialisasi kepada para petani kopi dan melakukan pengawasan secara berkala. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi dimana pembeli dari negara Eropa menolak produk kopi arabika gayo karena diyakini mengandung zat kimia berupa glyphosate yang melebihi ambang batas. Pemerintah diharapkan dapat melakukan pengecekan apakah benar seperti yang dikatakan oleh para pembeli Eropa dan bagaimana solusinya. Jika dibiarkan, maka ditakutkan harga kopi gayo akan jatuh dan berakibat hilangnya pembeli.
.
Foto: Serambinews.com

Dewasa ini, dimana arus globalisasi semakin kuat tidak dapat dipungkiri jika budaya semakin terkikis. Jangan sampai apa yang ada di benak generasi muda saat mendengar kata budaya hanya sebatas “Pakaian dan Tarian”. Padahal pengertian budaya sendiri sangat luas melebihi dua hal tersebut. Budaya dapat diartikan sebagai identitas unik dan khas dari suatu daerah, salah satunya seperti budaya ngopi di Aceh. Perlu pemahaman menyeluruh terhadap budaya khususnya pada generasi muda supaya budaya ngopi tidak dipandang negatif, bahkan sebaliknya bisa dimanfaatkan menjadi nilai positif khususnya dalam hal ekonomi dan pariwisata.